Fenomena perjudian sudah terjadi sejak lama. Zaman sekarang, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan munculnya cara-cara baru untuk melakukan perjudian, yaitu secara online atau daring. Ini dapat terjadi karena adanya sarana dan media yang memudahkan masyarakat untuk mengakses situs dan aplikasi yang memiliki unsur perjudian.
Di Indonesia, perjudian telah dilarang dalam Pasal 27 ayat 2 juncto Pasal 45 ayat 2 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pihak yang secara sengaja mendistribusikan atau membuat dapat diaksesnya judi online, diancam dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar. Selain itu, Pasal 303 KUHP mengenakan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda pidana paling banyak Rp 10 juta bagi para pemain judi.
Meskipun telah dilarang oleh hukum Indonesia, judi online masih banyak ditemukan di masyarakat. Dilihat dari sudut pandang sosiologi hukum, deretan aturan pidana yang menjerat pelaku judi online ternyata belum efektif dalam menjadi alat kontrol sosial terhadap masyarakat.
Pengertian efektivitas hukum dapat diartikan sebagai suatu pengukuran terhadap nilai kemampuan suatu kaidah hukum dalam mencapai tujuannya sebagaimana yang ditentukan pada tujuan dibentuknya hukum tersebut. Keberhasilan suatu kaidah hukum dalam mencapai tujuannya dapat diukur dengan melihat bagaimana hukum itu berhasil mengatur perilaku masyarakat.
Sebagai akademisi di bidang hukum, kami mencoba menganalisis mencari tahu mengapa sulit memberantas judi online di Indonesia.
Dengan menggunakan metode penelitian hukum nondoktrinal atau empiris yang dilakukan dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan sosiologis (sociological approach), kami menemukan setidaknya ada empat faktor yang dapat memengaruhi efektivitas hukum, yaitu kaidah hukum itu sendiri, sarana pendukung penegakkan hukum, faktor masyarakat, dan faktor kebudayaan.
1. Faktor kaidah hukum
Dilihat dari kaidah hukumnya, UU yang mengatur tentang perjudian maupun perjudian online belum sepenuhnya berjalan secara efektif.
Dari segi kepastian hukum, hukum perjudian dinilai masih kurang tegas karena terdapat ketidakpastian terhadap hukum yang berlaku sebagaimana yang diatur pada KUHP dan UU ITE beserta perubahannya.
Dari segi kualifikasi sanksi hukum, sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelanggarnya pada kedua dasar hukum tersebut terdapat perbedaan. Sanksi yang diatur pada KUHP bersifat alternatif, yaitu memberi ruang bagi pelakunya untuk memilih antara pidana penjara atau pidana denda.
Sementara itu, sanksi yang diatur pada UU ITE serta perubahannya bersifat kumulatif alternatif, yaitu membuat pelakunya dapat dikenakan pidana penjara saja, pidana denda saja, atau pidana penjara dan pidana denda secara bersamaan.
Adanya perbedaan sifat sanksi dalam KUHP dan UU ITE beserta perubahannya memunculkan berbagai penafsiran. Sanksi dalam KUHP terlihat lebih ringan daripada dalam UU ITE serta perubahannya walaupun pada intinya perbuatan yang menyimpang sama-sama merupakan tindakan perjudian.
Ada juga ketidakpastian hukum dalam substansi pengaturan perjudian dalam KUHP, yaitu ada frasa “tanpa mendapat izin” (Pasal 303 Ayat 1). Frasa menyebabkan penafsiran seakan-akan tindakan perjudian yang telah mendapatkan izin diperbolehkan dalam hukum. Hal ini bertentangan dengan ketentuan dalam UU Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian dan KUHP yang menyatakan segala bentuk tindakan perjudian adalah kejahatan.
2. Faktor sarana pendukung penegakan hukum
Faktor ini membicarakan fasilitas yang tersedia untuk mendukung penegak hukum dalam mencapai tujuan hukum. Bagaimana pun, tindakan penegakkan hukum sulit berjalan lancar tanpa adanya sarana atau fasilitas yang memadai dalam bidang pencegahan dan pemberantasan tindakan kejahatan.
Sarana pendukung ini meliputi sumber daya manusia yang berpendidikan dan ahli, alat yang memadai, dan dana yang cukup.
Dalam kasus perjudian online, sarana yang memadai dapat berupa ahli forensik digital untuk mencari bukti adanya tindakan perjudian online dan alat teknologi yang canggih. Adanya sarana ini sangat membantu pemerintah dalam melaksanakan tugasnya dalam mengurangi kasus perjudian online.
Sayangnya, sarana-sarana pendukung yang tersedia tampaknya masih kurang memadai. Buktinya, masih terdapat celah yang sangat mudah diakses oleh masyarakat dalam bermain judi online.
3. Faktor masyarakat
Faktor masyarakat merujuk pada partisipasi masyarakat dalam tindakan penegakan hukum. Bentuknya terletak pada tingkat kesadaran hukum dan kepatuhan masyarakat terhadap hukum yang berlaku.
Adanya penegak hukum saja tidak cukup untuk memberantas fenomena yang menyimpang di masyarakat. Kesadaran hukum dari masyarakat terhadap suatu perbuatan menyimpang dan tidak melakukan hal tersebut akan memudahkan tercapainya tujuan hukum yang dikehendaki.
Sanksi terhadap tindakan perjudian online sejauh ini tampaknya hanya dapat memengaruhi kepatuhan masyarakat. Tanpa adanya kesadaran, masyarakat akan sulit mematuhi larangan perjudian.
Untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat, penegak hukum dapat memberikan penyuluhan atau sosialisasi kepada masyarakat mengenai fenomena menyimpang tertentu, baik dilakukan secara online maupun konvensional.
Dari hasil wawancara, kami menemukan masih terdapat orang-orang yang tidak mengetahui keberadaan aturan pidana perjudian online. Hal ini menunjukkan kurangnya pengetahuan dan kesadaran hukum masyarakat yang, dengan atau tanpa sadar, mengakibatkan mereka melanggar hukum.
Ini artinya, faktor masyarakat masih belum berjalan selaras dengan tujuan yang ingin dicapai, yaitu untuk mengurangi tindakan perjudian online.
4. Faktor kebudayaan
Faktor kebudayaan mencerminkan nilai-nilai sosial yang berlaku di suatu masyarakat. Nilai ini dapat menunjukkan perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk.
Faktor kebudayaan ini akan selalu berkaitan dengan faktor masyarakat. Sebab, budaya muncul dari dan dilaksanakan juga oleh masyarakat. Agar hukum bisa efektif, nilai-nilai ini perlu selaras dengan hukum yang berlaku.
Tindakan perjudian online merupakan tindakan yang tidak dibenarkan menurut masyarakat. Adanya ketidakpastian hukum yang telah dijelaskan sebelumnya juga menunjukkan bahwa ternyata nilai-nilai sosial masyarakat juga belum sepenuhnya tercermin dalam peraturan perundang-undangan Indonesia.
Sehingga, walaupun ada peraturan mengenai tindakan perjudian online, sikap masyarakat untuk mematuhi peraturan tersebut belum menjadi suatu budaya. karena masih terdapat faktor-faktor lain yang belum seluruhnya selaras dengan nilai-nilai sosial yang dianut masyarakat.